SURABAYA – Pengumuman penerima Piala Citra Festival Film Indonesia 2023 adalah momen yang sangat penting. Selain jadi puncak pelaksanaan FFI, ini juga ajang penghargaan film paling bergengsi di tanah air. Hal ini disampaikan Aulia Afniar Rahmawati, S.I.Kom., M.Med.Kom., pemerhati film dari Stikosa AWS, Selasa 14 November 2023.
“Pengumuman penerima Piala Citra ini akan menjadi momen untuk merayakan pencapaian para sineas Indonesia, baik di bidang film cerita panjang, film non cerita panjang, maupun kritik film. Penghargaan ini akan menjadi motivasi bagi para sineas untuk terus berkarya dan menghasilkan karya-karya terbaik,” jelas Aulia.
Disampaikan pula, pengumuman penerima Piala Citra ini juga akan menjadi ajang untuk mempromosikan film-film Indonesia yang berkualitas.
“Film-film yang berhasil meraih Piala Citra akan mendapatkan perhatian lebih dari masyarakat dan akan lebih mudah untuk didistribusikan dan dinikmati oleh masyarakat luas,” jelas Dosen Ilmu Komunikasi dan Public Relations di Stikosa AWS (Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Almamater Wartawan Surabaya) ini.
Aulia mencatat, satu hal yang membuat FFI tahun ini jadi momen istimewa adalah tema yang diangkat, Citra. Menurut dia, ini seolah jadi penegas kembali keterkaitan FFI, Piala Citra, dan sejarah perfilman itu sendiri.
Tema Citra terinspirasi dari sajak karya Usmar Ismail, seorang tokoh perfilman Indonesia yang juga merupakan penggagas Festival Film Indonesia. Tema ini diharapkan dapat menjadi refleksi bagi para sineas Indonesia untuk terus berkarya dan menghasilkan karya-karya yang dapat menginspirasi masyarakat.
“Usmar Ismail merupakan tokoh yang memberi pengaruh besar pada perkembangan perfilman Indonesia. Ia juga sangat berjasa bagi perkembangan perfilman Indonesia. Ia dikenal sebagai Bapak Film Nasional karena peran besarnya dalam memajukan perfilman Indonesia,” kata Aulia.
Disampaikan pula, selain sebagai sutradara, Usmar Ismail juga aktif dalam berbagai kegiatan perfilman. Ia pernah menjabat sebagai ketua Persatuan Artis Film Indonesia (PARFI), ketua Dewan Film Nasional, dan ketua Badan Sensor Film. Ia juga merupakan salah satu penggagas Festival Film Indonesia.
“Penguatan sosok Usmar Ismail, Piala Citra dan eksistensi FFI. Ini penghargaan dari hulu hingga ke hilir. Karena kontribusi Usmar Ismail dalam meletakkan dasar bagi perkembangan perfilman Indonesia terbukti membuka jalan bagi para sineas Indonesia untuk berkarya dan menghasilkan film-film berkualitas,” imbuhnya.
Aulia juga menambahkan, dalam beberapa tahun terakhir, perfilman Indonesia telah mengalami perkembangan yang sangat pesat. Hal ini terlihat dari meningkatnya jumlah produksi film, kualitas film yang semakin baik, dan apresiasi masyarakat terhadap film Indonesia.
“FFI 2023 akan menjadi ajang untuk merayakan pencapaian ini dan menjadi motivasi bagi para sineas Indonesia untuk terus berkarya,” tegasnya.
FFI dan Regenerasi
Aulia, di kesempatan yang sama juga mengaku memberi perhatian lebih pada FFI 2023 karena ini potret regenerasi yang luar biasa. Ada generasi perfilman yang populer di tahun 1970-an hingga kini.
Menurutnya, regenerasi dalam perfilman Indonesia adalah hal yang sangat penting. Hal ini diperlukan untuk menjaga kesinambungan dan perkembangan perfilman Indonesia. Kehadiran para sineas muda menunjukkan bahwa perfilman Indonesia memiliki masa depan yang cerah. Mereka memiliki semangat dan kreativitas yang tinggi untuk menghasilkan film-film berkualitas. Selain itu, FFI 2023 juga menunjukkan bahwa para sineas senior masih aktif berkarya dan menghasilkan film-film berkualitas.
“Secara keseluruhan, saya yakin bahwa FFI 2023 akan menjadi ajang yang meriah dan inspiratif. FFI 2023 akan menjadi ajang untuk merayakan pencapaian para sineas Indonesia, menjadi motivasi bagi para sineas untuk terus berkarya, dan menjadi ajang untuk mempromosikan film-film Indonesia berkualitas,” harap Aulia.
Film dan Peradaban Manusia
Film adalah gambaran riil tentang peradaban masyarakat. “Saya ingat, dulu sempat bermunculan film dengan tema sensualitas dan seksualitas merajai bioskop. Lalu generasi film horor. Dan kini semakin beragam. Ini mewakili peradaban bangsa Indonesia,” kenang Aulia.
Ia menjelaskan, pada masa lalu, film Indonesia sempat didominasi oleh film-film dengan tema sensualitas dan seksualitas. Hal ini dapat diartikan sebagai cerminan dari peradaban masyarakat Indonesia yang sedang mengalami perubahan. Pada masa itu, masyarakat Indonesia mulai terbuka dengan nilai-nilai dan tren baru, termasuk nilai-nilai dan tren dari luar negeri. Bisa juga karena alasan lain, misal jalan pintas komersialisasi film.
“Kini, film Indonesia semakin beragam. Hal ini dapat diartikan sebagai cerminan dari peradaban masyarakat Indonesia yang semakin maju dan dinamis. Masyarakat Indonesia semakin terbuka dengan berbagai macam nilai-nilai dan tren, termasuk nilai-nilai dan tren dari luar negeri,” jelasnya.
Aulia kemudian memberikan beberapa contoh film Indonesia yang bisa jadi mewakili gambaran riil tentang peradaban masyarakat Indonesia pada saat itu.
Misal, film Darah dan Doa (1950), merupakan film pertama di Indonesia yang mengangkat tema perjuangan kemerdekaan. Film ini dapat diartikan sebagai cerminan dari semangat perjuangan bangsa Indonesia untuk merebut kemerdekaannya.
Lalu Tiga Dara (1956), film klasik Indonesia yang mengangkat tema keluarga. Film ini dapat diartikan sebagai cerminan dari nilai-nilai keluarga yang kuat dalam masyarakat Indonesia. Contoh lain film Pedjuang (1960), film perang Indonesia yang mengangkat tema perjuangan kemerdekaan. Film ini dapat diartikan sebagai cerminan dari semangat patriotisme dan nasionalisme bangsa Indonesia.
“Yang agak baru adalah Preman Pensiun (2019), drama komedi yang mengangkat tema kehidupan preman. Film ini dapat diartikan sebagai cerminan dari realitas kehidupan di masyarakat Indonesia. Kemudian Ngeri-Ngeri Sedap (2022), drama komedi yang mengangkat tema keluarga. Film ini dapat diartikan sebagai cerminan dari nilai-nilai keluarga yang kuat dalam masyarakat Indonesia,” jelas Aulia.
Industri Budaya yakni film adalah usaha hiburan bergerak dengan logika pasar, demikian pula industri perfilman di Indonesia. Di era ini industri film telah dikomodifikasikan melalui pertimbangan logika film ekonomi media. wujud inspirasi karya film Indonesia didominasi dalam perhitungan bisnis, yang terkesan dipaksakan.
“Realitas sosial, fakta dan tema pengangkatan cerita dari adaptasi novel , persaudaraan keluarga sehingga begitu populer, dan juga produsen film meremake ulang film jadul (jaman dulu) yang telah populer di eranya kemudian dibuat ulang dengan penyegaran cerita dan aktor baru namun tidak menghilangkan substansi dari ciri khas film awal. maka dengan demikian sebenarnya selera penonton itu dikonstruksi oleh industri film atau selera penonton datang dari penonton itu sendiri,” tutup Aulia. (**/sas/gus)