Secara sederhana dapat dikatakan bahwa kaum pekerja (buruh) di Indonesia masih belum bisa menikmati sepenuhnya anugerah perjuangan buruh global. Ada tiga (3) isu mendasar yang perlu digarisbawahi dalam memperingati Hari Buruh 2024 ini, yakni hakikat perjuangan kaum pekerja yang berorientasi pada kejelasan waktu kerja, peningkatan kesejahteraan, dan kebebasan berserikat.
Bahwa perjuangan kaum pekerja terhadap jumlah jam kerja yang manusiawi yakni delapan (8) jam kerja per hari dan empat puluh (40) jam kerja per minggu merupakan norma universal yang harus ditegakkan di seluruh pelosok tanah air tanpa memandang jenis kerja apapun. Berangkat dari sejumlah kajian multi disiplin membuktikan adanya keuntungan bekerja dalam rentang waktu tersebut di atas bila dikorelasikan dengan produktivitas maksimal, diperolehnya kulitas kesehatan yang prima, dan rendahnya kecelakaan kerja. Oleh karenanya, Pemerintah sudah selayaknya melindungi kebijakan jam kerja yang manusiawi tersebut dan memberikan sanksi kepada siapapun yang melanggarnya.
Rentang waktu kerja manusiawi ini terbukti bermanfaat pada kualitas kesehatan pekerja yang tentunya justru menguntungkan pihak-pihak terkait, baik itu dari para pemberi pekerjaan maupun institusi negara serta swasta yang menjawab persoalan kesehatan kaum pekerja. Tinggi dan stabilnya keluaran (output) kerja mereka secara signifikan berkorelasi positif terhadap kestabilan investasi dan keberlanjutan perekonomian suatu negara itu sendiri. Waktu kerja manusiawi ini sudah barang tentu berdampak pada kualitas hidup kaum pekerja, terwujudnya jaminan kesehatan diri dan keluarga mereka, serta didapatnya kesehatan psikologis yang stabil. Sayangnya, keselamatan dan kesehatan kerja (K3) di Indonesia secara agregat belum memuaskan. Satu hal yang harus menjadi perhatian Pemerintah adalah lemahnya penegakan hukum terkait insiden pelanggaran K3.
Bahwa masih tingginya angka kecelakaan kerja di Indonesia sebagaimana data BPJS Ketenagakerjaan (2023) yakni sebesar 370.747 kasus kecelakaan kerja di berbagai sektor industri menunjukkan sosialisasi dan penegakan hukum tentang jam kerja manusiawi belum maksimal diupayakan. Angka ini dikategorikan sangat tinggi dibandingkan dengan negara dunia ketiga (newly industrial countries) lainnya yang memiliki kemiripan karakteristik industri seperti Indonesia. Sebenarnya, isu mengenai pengawasan waktu kerja manusiawi ini telah lama ada sebagaimana telah diundangkannya Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja. Anehnya ius constitutum tersebut belum direvisi hingga sekarang. Adapun yang menjadi keprihatinan para pemerhati kaum pekerja utamanya adalah yang berkaitan dengan pasal pengawasan dan sanksi. Pasal ini dirasa sudah tidak relevan lagi dengan tuntutan jaman serta semangat perjuangan pergerakan kaum pekerja global.
Para pelanggar norma keselamatan kerja yang mengakibatkan kecelakaan kerja serius hanya dijatuhi hukuman selama-lamanya tiga bulan atau denda setinggi-tingginya Rp 100.000.00; (seratus ribu rupiah) Tentunya sanksi seperti ini sangat tidak sejalan dengan semangat untuk mengantarkan kehiduan kaum pekerja ke arah tata kehidupan yang lebih makmur dalam keadilan serta adil dalam kemakmuran. Sebagai misal adalah potret penegakkan hukum yang memunculkan keprihatinan publik baru-baru ini yakni kasus ledakan tungku smelter nikel di Morowali, Sulawesi Tengah, yang mengorbankan puluhan pekerja. Dengan diresponnya pelannggar norma keselamatan kerja dengan pasal pengawasan dan sanksi pada norm a quo apakah itu dirasa adil?
Pada dasarnya sumbangsih kaum pekerja di Indonesia terhadap pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) sangat membanggakan. Sektor ketenagakerjaan, sesuai data BPS, menyumbang 60 persen PDB Indonesia. Sayangnya, di sisi lain dasar upah minimum mereka ditekan agar menghasilkan gaji bersih bulanan yang berkorelasi dengan kalkulasi rumus produksi. Oleh karenanya, sudah selayaknya disamping persoalan rentang waktu kerja manusiawi, penghargaan finasial dan non-finansial terhadap mereka perlu ditingkatkan. Disamping itu, berilah mereka ruang untuk mewujudkan hak konstitusionalnya yakni berserikat dan berpendapat. Kaum pekerja adalah partner pemberi kerja dan bukan merupakan alat kelengkapan pada sistem industri modern. Rangkul, lindungi dan sejahterakan mereka sesuai hak-hak yang mereka miliki.
Oleh karenanya, pada peringatan Hari Buruh 2024 ini, sangat diharapkan para pihak terkait dengan masalah perburuhan baik itu Pemerintah, para pemberi kerja, NGO Perburuhan dan lain-lainnya untuk merenungi kembali apa yang sejatinya menjadi sari pati perjuangan gerakan kaum pekerja yanga hakiki. Sejatimya mereka mendambakan terwujudnya iklim keseimbangan kerja yang produktif, inovatif, dan humanis, serta yang menyejahterkan kehidupannya dan keluarga mereka.
Penulis adalah : Direktur Kajian Hukum dan Perburuhan Indonesia (LKHPI)