NGANJUK – Kelurahan Warujayeng, Kecamatan Tanjunganom, Kabupaten Nganjuk memiliki sejarah peradaban lebih lengkap dibanding wilayah lain di Kabupaten Nganjuk. Peradaban tertua tercatat dalam Prasasti Hering berangka tahun 856 Saka atau 934 Masehi, era Kerajaan Mataram Medang, Raja Sindok.
Sejarah peradaban kedua muncul dalam Prasasti Mula Malurung berangka tahun 1172 Saka atau 1250 Masehi, era Kerajaan Singasari, Raja Wisnu Wardhana. Sejarah peradaban ketiga mucul dalam Kitab Kakawin Negara Kertagama era Kerajaan Majapahit, Raja Hayam Wuruk.
Sejarah peradaban keempat, kembali muncul pada era transisi antara Kerajaan Majapahit dan Mataram Islam, dan berlanjut hingga periode-periode masa berikutnya (Kolonial Belanda hingga sekarang).
Prasasti Hering ditemukan di Desa Kujonmanis, Kecamatan Tanjunganom, Kabupaten Nganjuk. Pertamakali ditemukan, Desa Kujonmanis masih masuk distrik Berbek, Residen Kediri tahun 1889 (Not. p. 64 disimpan di Museum Nasional Jakarta dengan nomor inventaris D. 67).
Isi Prasasti Hering menyebutkan perintah Sri Maharaja Pu Sindok Sri Isana Wikrama Dharmotunggadewa menetapkan lemah sawah beserta rumahnya di kakatikan Hering, masuk wilayah watek Marganung, di bawah kekuasaan Wahuta Hujung, yang dibeli oleh Samgat Marganung Pu Danghil dan istrinya, Dyah Pendel. Lemah sawah tersebut oleh Pu Danghil diwakafkan untuk dibangun bangunan suci wihantan (wiahara) yang kemudian dimohonkan kepada Raja Sindok agar dibebaskan dari kwajiban membayar pajak (sima swatantra).
Dalam prasasti Hering juga menyebut nama mantan pejabat wadihati di Waru yaitu bernama Sang Kamampah (bait 14-15 bagian kanan prasasti). Wadihati adalah jabatan seorang pembantu Makudur – pemimpin upacara penetapan sima.
Juga muncul kata Widu Mangidung dalam “kdi / wlyan / widu / mangidung / sambal / sumbul / hulun haji / singgah /” (bait 16 bagian belakang prasasti). Dalam Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Jilid II, Widu Mangidung adalah profesi seorang yang menyanyi sambil menari, dimana saat menari, dia dikelilingi banyak pengibing laki-laki.
“Bisa jadi kesenian Kledek itu sudah berkembang sejak jaman Mataram kuno, karena di wilayah Warujayeng pernah berjaya kesenian Kledek hingga sekarang,” jelas Sukadi Humas, komunitas Pecinta Sejarah dan Ekologi Nganjuk (Kotasejuk).
Berikutnya, sambung Sukadi di Nganjuk pernah berdiri sebuah kerajaan, yaitu kerajaan vatsal Hring yang dipimpin oleh Sri Raja Narajaya, di bawah kekuasaan Kerajaan Tumapel atau Singasari. Kerajaan Hring beribukota di Hring pula, diperkirakan lokasinya di Kujonmanis, Warujayeng.
Bukti arkeologis yang memperkuat bahwa Sima Hring berkembang menjadi Kerajaan Hring adalah isi prasasti Mula Malurung pada lempeng 7.b, yang menyatakan bahwa Sri Narajaya adik sepupu Nararyya Sminingrat (raja Tumapel), ia diangkat sebagai raja di Hring.
Dalam Kitab Kakawin Negarakertagama karya Empu Prapanca, nama Hering muncul bersama kata Waru. Pada pupuh 17 disebutkan bahwa Raja Hayam Wuruk saat melakukan perjalanan ke desa-desa di Jawa, pernah mengujungi Desa Waru di Hering.
“Perjalanan Sang Kawi (Empu Prapanca) langsung menuju ke Waru di Hering untuk tinggal dan beristirahat yang tidak jauh dari pantai”. Mungkin yang dimaksud pantai adalah tepi Sungai Brantas.“Satu-satu kerajaan yang bernah ada di nganjuk adalah Kerajaan Hering yang dipimpin Raja Narajaya, era Singasari,” lanjut Aries.
Kemudian peradaban Mataram Islam setelah era Majapahit di Warujayeng. Bukti yang menguatkan berupa temuan makam kuno yang tersebar di makam umum Kujonmanis. Identifikasi sebagai makam Islam kuno tampil pada bagian nisannya. Dimana setiap nisan mencirikan adanya profil-profil membentuk bulan sabit dan bulan sidi atau bulan penuh di tengah bintang lima.
Namun ada beberapa nisan yang mencirikan sebagai masa transisi antara peradaban Majapahit dan Mataram Islam terdapat pada profil, menggambarkan surya Majapahit.
Menariknya, makam-makam Islam tersebut hampir seluruhnya memanfaatkan batu andesit dan batu bata kuno, sebagaimana batu-batu dan bata kuno yang tercecer di kompleks makam setempat. Batu andesit dan batu bata kuno tersebut diduga bekas material bangunan suci agama Hindu atau Budha.
Menurut catatan Sukadi, makam-makam Islam tersebut adalah makam seorang tokoh ulama besar yang sempat menyebarkan pengaruhnya di wilayah Warujayeng pada eranya. Misalnya, makam dengan ciri nisan terdapat profil bulan sabit, menunjukkan karakter seorang ulama sepuh setingkat wali. Berikutnya, nisan dengan profil bintang lima di tengah muncul bulan sidi. Ini mencirikan seorang tokoh ulama besar namun berasal dari keturunan pejabat kerajaan atau seorang pangeran.“Seperti makam-makam seorang kyai sepuh atau setingkat wali, bisa dilacak dari bentuk nisannya, yaitu ada ukiran bulan sabit,” katanya.
Warga Warujayeng menyebut makam-makam Islam kuno di Kujonmanis tersebut; Makam Ki Ageng Kertonegoro, Ki Rangga Keniten, Ki Ageng Pemanahan, Ki Ageng Alap-alap Samber Nyowo. Dan ada satu lagi makam berada sekitar 300 meter dari makam Kujonmanis arah utara dikenal dengan nama Makam Pangeran Kertosono atau Ki Ageng Kerto dengan karakter nisan Surya Majapahit.
Masih ada beberapa makam lain berada dalam satu komplek di makam umum Kojonmanis, yaitu; Mbah Endhel, Panglima Banaspati, dan lain-lain. “Dengan banyak ditemukannya makam Islam kuno, terutama makam seorang wali dan ulama besar di Warujayeng tersebut menunjukkan bahwa agama Islam pernah berjaya pada eranya dan berkembang hingga sekarang, sehingga di Warujayeng dan sekitarnya banyak berdiri pondok pesantren yang besar dan berkualitas,” jelas penggali situs dan sejarah di Nganjuk ini.
Peradaban berikutnya pada era penjajahan Kolonial Belanda. Nama Warujayeng dan Kujonmanis muncul di sejumlah peta kuno dan catatan Belanda hingga nama Warujayeng dan Kujonmanis melekat sampai sekarang.
“Kalau melihat peta tertua era Kolonial Belanda, nama Warijayeng dan Kujonmanis sudah muncul. Bahkan nama Kujonmanis pernah dijadikan nama perusahaan Pabrik Gula Kujonmanis di Warujayeng,” ungkap Sukadi tanpa menyebut angka periode tahunnya.
Sementara itu menurut Kepala Kelurahan Warujayeng, Heru Budi Purnomo, S.H., sistus-situs yang tersebar di wilayah Warujayeng rencananya dijadikan obyek wisata religi. Ini setelah ditemukan makam dengan ciri nisan berlambang bulan sabit dan bulan purnama, yang mencirikan makam seorang ulama besar setingkat wali.
“Saya baru tahu setelah bungkus nisan dibuka ternyata ada ukiran bulan sabit dan bulan purnama. Berarti makam-makam di sini dulu makam seorang tokoh ulama besar dan wajib kita hormati dan jaga,” tutur Heru.
Yang membuat Heru bangga, ternyata di Warujayeng memiliki peradaban kesejarahan cukup lengkap di banding daerah lain di Nganjuk. Peradaban sudah dimulai sejak jaman Mataram Medang berlanjut ke era Singasari, Majapahit, Mataram Islam, kolonial Belanda hingga sekarang. “Buktinya di wilayah Warujayeng berkembang pondok-pondok pesantren, mungkin ada hubungannya dengan peninggalan jaman Mataram Islam di sini,” pungkasnya. (mf/gus)