SURABAYA – Sejumlah data menunjuk kan, jika penggunaan digital marketing communication di kalangan politisi Indonesia semakin menguat dari waktu ke waktu.
Semisal, penelitian dari The University of Michigan yang diterbitkan pada tahun 2021, menunjukkan bahwa politisi Indonesia semakin mengandalkan media sosial untuk berkomunikasi dengan pemilih.
Penelitian tersebut menemukan bahwa politisi Indonesia menggunakan media sosial untuk mempromosikan agenda mereka, membangun hubungan dengan pemilih, dan mengumpulkan data pemilih.
“Lalu penelitian dari Lembaga Survei Indonesia yang diterbitkan pada tahun 2022 menunjukkan bahwa media sosial menjadi platform yang paling penting bagi politisi Indonesia untuk berkomunikasi dengan pemilih,” ujar Dr. Jokhanan Kristiyono, Dosen Marketing Communication Stikosa-AWS (Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Almamater Wartawan Surabaya)
Penelitian tersebut, kata Jokhanan yang juga Ketua Stikosa-AWS, menemukan fakta bahwa 90 persen politisi Indonesia menggunakan media sosial untuk kampanye, dan 85 persen pemilih Indonesia menggunakan media sosial untuk mencari informasi tentang politisi.
Sementara data dari Media Monitoring Asia menunjukkan bahwa penggunaan digital marketing communication oleh politisi Indonesia meningkat secara signifikan dalam beberapa tahun terakhir.
Data tersebut menunjukkan bahwa pada tahun 2019, politisi Indonesia hanya menghasilkan 10 juta interaksi di media sosial. Namun, pada tahun 2024, angka tersebut meningkat menjadi 100 juta interaksi.
“Data-data tersebut menunjukkan bahwa digital marketing communication telah menjadi bagian penting dari strategi komunikasi politik di Indonesia. Dengan memanfaatkan digital marketing communication secara efektif, politisi Indonesia dapat meningkatkan peluang mereka untuk memenangkan pemilu,” jelas Jokhanan lagi.
Selain sumber-sumber tersebut, masih banyak sumber lain yang menguatkan fakta penggunaan digital marketing communication di kalangan politisi Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa digital marketing communication telah menjadi tren yang semakin populer di kalangan politisi Indonesia.
Dijelaskan Jokhanan, fakta ini menguatkan persepsi bahwa penggunaan digital marketing communications saat ini telah mengubah cara orang mengonsumsi informasi dan berinteraksi dengan merek.
“Hal ini menuntut para pemasar untuk menyesuaikan strategi mereka agar dapat menjangkau dan melibatkan audiens yang semakin sadar akan teknologi,” tegasnya.
Ia pun kemudian menunjukkan beberapa contoh pengaruh teknologi digital terhadap strategi pemasaran.
“Pertama, peningkatan penggunaan media sosial. Media sosial telah menjadi platform yang penting bagi pemasar untuk membangun hubungan dengan audiens mereka. Melalui media sosial, pemasar dapat membagikan konten yang relevan dan menarik, serta berinteraksi secara langsung dengan konsumen,” jelasnya.
Kedua, lanjut dia, munculnya pemasaran konten. Pemasaran konten adalah strategi pemasaran yang berfokus pada penciptaan dan distribusi konten yang bernilai bagi audiens.
“Konten yang berkualitas dapat membantu pemasar membangun kepercayaan dan kredibilitas dengan audiens mereka,” kata Jokhanan.
Ketiga, peningkatan penggunaan pemasaran seluler. Pemasaran seluler adalah strategi pemasaran yang dirancang untuk menjangkau audiens melalui perangkat seluler. Dengan semakin banyaknya orang yang menggunakan perangkat seluler, pemasar perlu menyesuaikan strategi mereka agar dapat menjangkau audiens ini.
“Selain itu, isu-isu lain yang juga relevan dengan digital marketing communications saat ini antara lain perkembangan artificial intelligence atau AI, kesadaran akan privasi dan keamanan data, dan kebutuhan akan pemasaran yang berkelanjutan,” paparnya.
Isu-isu yang ada ini akan terus berkembang dan menuntut para pemasar untuk terus belajar dan beradaptasi.
Secara teknis, dalam konteks Pemilu 2024, isu-isu tersebut dapat menjadi peluang bagi para calon untuk menjangkau dan melibatkan pemilih.
“Misalnya pengaruh teknologi digital terhadap strategi kampanye. Para calon dapat menggunakan media sosial untuk membangun hubungan dengan pemilih, membagikan konten yang relevan dan menarik, serta berinteraksi secara langsung dengan pemilih,” jelas Jokhanan.
Pemilih usia muda 17 – 40 tahun, menjadi sasaran perebutan kontestasi politik. Di era transformasi digital ini, pemilih usia tersebut kecenderungan aktivitasnya tidak lepas dari gawai, internet dan media sosial.
Februari 2023 kemarin, laman tempo.co mengunggah berita tentang Pemilu, dengan judul KPU (Komisi Pemilihan Umum) Sebut 60 persen Pemilih Indonesia di Pemilu 2024 Didominasi Kelompok Muda.
Di berita itu August Mellaz anggota KPU mengatakan, ”Berdasarkan data DP4 (Data Penduduk Potensial Pemilih Pemilu) dari pemerintah proporsi pemilih 2024 yang 14 februari nanti mencapai usia 17-39 tahun itu 55 sampai 60 persen”.
Secara teoretis, pemilih berasal dari Gen Y dan Z sebagai generasi Milenial. Politisi menangkap momentum tersebut dengan membidik strategi pemasaran kampanye politik melalui media – media digital.
Maraknya pemasaran konten, juga membuat para calon dapat membuat pesan yang berkualitas untuk membangun kepercayaan dan kredibilitas dengan pemilih. Konten tersebut dapat berupa video, artikel, atau podcast.
“Dan sekali lagi, peningkatan penggunaan pemasaran seluler membuat para politisi dapat menyesuaikan strategi kampanye mereka agar dapat menjangkau pemilih yang menggunakan perangkat seluler. Hal ini dapat dilakukan dengan membuat kampanye yang dapat diakses melalui perangkat seluler,” tandasnya.
Karena perlu diingat, digital marketing communications sejatinya sangat relevan dengan gaya hidup berinternet masyarakat Indonesia. Data We Are Social, 81,8 persen dari populasi Indonesia berusia 16 tahun ke atas menggunakan internet.
“Hal ini menunjukkan bahwa internet telah menjadi bagian penting dari kehidupan masyarakat Indonesia,” tutup Jokhanan. (dmpr/gus)